Timika, HaluanPapua – Program pengembangan bawang merah yang dijalankan Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Kabupaten Mimika Tahun Anggaran 2025 menuai sorotan tajam. Proyek bernilai ratusan juta rupiah itu diduga gagal total setelah dari total 2,2 ton benih yang dianggarkan, hanya sekitar 19 Kg yang dinyatakan layak tanam.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, pengadaan benih tersebut dilaksanakan melalui mekanisme penunjukan langsung kepada perusahaan berinisial SD, dengan lokasi tanam di Kampung Wonosari Jaya dan Kadun Jaya. Namun, dari volume yang tercantum dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) sebesar 2,2 ton, benih yang tiba di lokasi hanya sekitar 1.375 Kg. Lebih dari separuhnya diduga rusak dan tidak layak tanam.
Lebih ironis lagi, meski kualitas benih di bawah standar dan volume tak sesuai kontrak, pihak dinas tetap mencairkan pembayaran kepada penyedia. Hingga kini, kontraktor baru mengganti sekitar 100 kilogram benih, jauh dari jumlah yang seharusnya.
Kinerja Dinas Dipertanyakan
Kegagalan program ini menimbulkan tanda tanya besar atas lemahnya pengawasan internal dan rendahnya tanggung jawab teknis di lapangan. Sejumlah pihak menilai, program strategis seperti ini seharusnya menjadi bagian dari upaya nyata mewujudkan visi-misi Bupati dan Wakil Bupati Mimika, khususnya dalam mendorong ketahanan pangan daerah.
“Jangan hanya mengejar realisasi anggaran, tetapi hasil di lapangan nol besar. Ini bentuk pemborosan dan mencederai kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah,” ujar salah satu pemerhati kebijakan publik di Timika yang enggan disebutkan namanya.
Desakan Pemeriksaan APIP
Kondisi ini mendorong munculnya desakan agar Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) segera turun tangan melakukan pemeriksaan terhadap seluruh proses pengadaan benih bawang merah tersebut.
Pengadaan yang tidak sesuai spesifikasi dan lemahnya tindak lanjut dari pihak dinas maupun rekanan menjadi indikasi kuat adanya ketidaktertiban dalam pengelolaan keuangan publik. Jika dibiarkan tanpa evaluasi menyeluruh, kasus serupa dikhawatirkan akan terus berulang dan menghambat pembangunan sektor pertanian di Mimika.
Program pengembangan budidaya bawang merah melalui Bidang Hortikultura ini sejatinya ditujukan untuk meningkatkan ekonomi petani lokal, menekan inflasi daerah, dan memperkuat ketahanan pangan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan orientasi anggaran lebih dominan dibanding orientasi hasil (outcome).
Kegagalan distribusi benih dan lemahnya pengawasan menjadi alarm serius bagi pemerintah daerah agar tidak sekadar menyerap anggaran, tetapi memastikan setiap rupiah benar-benar memberi manfaat bagi masyarakat. (*)