Smart city, Tapi Bikin Ribet?

- Jurnalis

Senin, 30 Juni 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

HaluanPapua – Jargon smart city sering kali disebutkan oleh pemerintah berbagai kota di Indonesia sebagai bentuk upaya dalam mewujudkan kota pintar berbasis teknologi. Saat ini, banyak pemerintah di Indonesia mulai menerapkan berbagai kebijakan digital sebagai bagian dari visi smart city. Salah satu kebijakan tersebut adalah perubahan sistem parkir manual menjadi sistem parkir elektronik. Sistem ini akan memanfaatkan mesin elektronik dan teknologi digital untuk transaksi dan mencetak karcis parkir, bahkan menggantikan peran juru parkir tradisional. Tujuan utamanya adalah membangun sistem parkir yang lebih transparan, efisien, dan modern dalam pelayanan publik.


Namun, walaupun terdengar menjanjikan, kebijakan ini masih menghadapi berbagai persoalan mendasar. Bukannya mempermudah, dalam praktik di lapangan sistem parkir elektronik yang menggambarkan kemajuan teknologi ini kerap menimbulkan kesulitan dan kebingungan bagi masyarakat dalam menggunakannya. Beberapa masyarakat kesulitan dalam mencari mesin parkir, mesin parkir yang tidak berfungsi dengan baik, gangguan sinyal internet, atau saldo dompet digital yang tidak mencukupi. Kondisi menjadi lebih rumit, apalagi pengguna yang hanya ingin parkir dalam waktu singkat, seperti membeli makanan, atau berbagai keperluan kecil lainnya.


Inti permasalahan terletak pada kurangnya kesiapan teknis pemerintah dan kondisi masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan ini. Tidak semua masyarakat memiliki dompet digital, akses internet, dan pengetahuan digital, terutama kelompok lansia serta kelompok masyarakat dengan akses teknologi terbatas. Bahkan generasi muda yang sudah terbiasa menggunakan teknologi belum tentu siap secara teknis maupun finansial dalam menggunakan mesin parkir elektronik. Hal ini menunjukkan pemerintah belum sepenuhnya berhasil mempertimbangkan kapasitas masyarakat dalam perubahan sistem parkir dan kemampuan pemerintah dalam menyediakan sistem baik yang mampu berjalan dengan lancar.

Baca Juga :  Langkah Iman di Lembah Agung: Jemaat Efata Pumo Teguhkan Majelis Baru

Kebijakan publik seharusnya tidak mengedepankan ambisi modernisasi, melainkan mengedepankan kebutuhan dan kesiapan masyarakat. Pendekatan minim dialog dan sosialisasi dari pemerintah hanya akan menciptakan kebijakan eksklusif. Oleh sebab itu, sebelum implementasi sistem parkir berbasis elektronik, pemerintah perlu melakukan sosialisasi secara menyeluruh, pelatihan, serta membangun ruang partisipasi untuk mendengarkan langsung kebutuhan masyarakat. Keputusan yang menyangkut kepentingan publik seharusnya berdiri di atas kesepakatan dan kebutuhan bersama dengan mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi masyarakat tanpa terkecuali.


Selain itu, pemerintah perlu mengkaji ulang dan mempertimbangkan kelompok yang terdampak langsung oleh kebijakan tersebut, seperti juru parkir tradisional. Kehadiran mesin parkir elektronik akan berpotensi menghilangkan mata pencaharian mereka, yang selama ini telah menjadi bagian dari ekosistem kota. Apabila strategi digitalisasi dilakukan tanpa adanya upaya pemberdayaan, maka digitalisasi akan memperbesar ketimpangan sosial. Pemerintah seharusnya mempertimbangkan berbagai rencana lain, seperti menjadikan juru parkir sebagai bagian dari rencana modernisasi, membuat sistem resmi yang dikelola lembaga terkait dengan transparan, sehingga proses transisi tetap inklusif.


Hal penting yang harus juga mendapat sorotan dari pemerintah adalah mekanisme pelaporan mengenai gangguan teknis dalam penggunaan mesin parkir elektronik, seperti kerusakan mesin, jaringan internet yang tidak stabil, dan kesulitan pada transaksi. Kondisi seperti ini akan memunculkan berbagai pertanyaan mendasar, apakah digitalisasi benar-benar ditujukan untuk efisiensi, atau hanya simbol modernisasi? Kebijakan yang dijalankan tanpa evaluasi dan kesiapan infrastruktur hanya akan mempersulit masyarakat. Modernisasi bukan sekadar kecepatan adopsi teknologi dalam pemerintahan.


Dari kacamata anggaran, pengadaan perangkat elektronik, infrastruktur pendukung, serta sistem pengelolaan digital membutuhkan biaya yang besar. Biaya tersebut bersumber dari anggaran masyarakat yang semestinya digunakan secara bijak untuk kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks kota di Indonesia, kebutuhan dasarnya seperti perbaikan jalan, perbaikan saluran air, transportasi umum, atau berbagai fasilitas publik lainnya yang sering kali justru lebih mendesak untuk diselesaikan. Pemerintah harus menetapkan prioritas belanja kepada kebutuhan masyarakat, sehingga tidak akan terciptanya ketimpangan antara pembangunan infrastruktur digital dan kebutuhan dasar masyarakat.

Baca Juga :  Tokoh Muda Cipayung Plus Bergabung dengan Golkar Lewat AMPI: Jefri Gultom Sebut Politik Adalah Etika untuk Melayani


Oleh karena itu, implementasi kebijakan sistem parkir elektronik di Indonesia sebagai bagian dari penerapan konsep smart city perlu dikaji ulang secara berkala. Digitalisasi dalam pelayanan publik seharusnya didasarkan pada prinsip inklusi, kesiapan pada infrastruktur, keadilan sosial, serta responsivitas terhadap kebutuhan masyarakat. Tanpa digunakan pendekatan kepada masyarakat, penggunaan teknologi akan menjadi beban baru, bukan sebagai solusi yang mempermudah kehidupan masyarakat. Sehingga, dibutuhkan evaluasi secara menyeluruh yang melibatkan berbagai elemen agar kebijakan tersebut dapat dirasakan manfaatnya bagi seluruh masyarakat.


Dengan melihat berbagai masalah teknis, sosial, hingga adanya ketimpangan akses terhadap teknologi, maka dapat dinilai bahwa kebijakan sistem parkir elektronik dalam bentuknya saat ini layak untuk menerima evaluasi lanjutan. Kebijakan ini menunjukkan belum adanya kesiapan yang memadai, baik dari segi infrastruktur maupun kesiapan masyarakat sebagai pengguna. Bukannya membawa kemudahan, sistem baru ini justru menyulitkan banyak pihak, menghilangkan mata pencaharian masyarakat kecil, serta mengorbankan anggaran masyarakat untuk sesuatu yang belum tentu berhasil. Pemerintah seharusnya tidak memaksakan kebijakan digital untuk mengejar modernisasi dengan mengorbankan masyarakatnya.

Penulis: Mia Syahbuddin
Ilmu Pemerintahan
universitas Muhammadiya Malang

Berita Terkait

Sekolah Rakyat Segera Dibangun di Mimika, Fraksi Demokrat: Fokus untuk Anak Amugme-Kamoro Kurang Mampu
GMKI Nabire Kecam Tindakan Intoleran dan Diskriminasi Antarumat Beragama
Anggota DPRK Mimika Kunjungi Mahasiswa UGM KKN di Atuka, Apresiasi Pilihan Lokasi dan Dedikasi
Peringatan HUT RI Ke-80 : Ini Imbauan Resmi Bupati Mimika
Skandal Proyek Disperkimtan Mimika: Honorer Diduga Kuasai 8 Paket Rp4,5 Miliar, Istri Sebagai Wakil Direktur
Dugaan Persekongkolan di Disperkimtan Mimika Memanas, Pihak Terkait Berikan Tanggapan
Proyek Perumahan Disperkimtan Mimika Diduga Dikuasai Lewat Persekongkolan Keluarga
Ketidakhadiran Kadis PUPR dalam Tiga Kali RDP, Komisi IV DPR Papua Tengah Angkat Bicara
Tag :

Berita Terkait

Sabtu, 2 Agustus 2025 - 16:23 WIT

Sekolah Rakyat Segera Dibangun di Mimika, Fraksi Demokrat: Fokus untuk Anak Amugme-Kamoro Kurang Mampu

Rabu, 30 Juli 2025 - 21:21 WIT

GMKI Nabire Kecam Tindakan Intoleran dan Diskriminasi Antarumat Beragama

Selasa, 29 Juli 2025 - 23:42 WIT

Anggota DPRK Mimika Kunjungi Mahasiswa UGM KKN di Atuka, Apresiasi Pilihan Lokasi dan Dedikasi

Senin, 28 Juli 2025 - 10:46 WIT

Skandal Proyek Disperkimtan Mimika: Honorer Diduga Kuasai 8 Paket Rp4,5 Miliar, Istri Sebagai Wakil Direktur

Sabtu, 26 Juli 2025 - 21:07 WIT

Dugaan Persekongkolan di Disperkimtan Mimika Memanas, Pihak Terkait Berikan Tanggapan

Berita Terbaru